Minggu, 20 Juli 2014

responsi sosum : STRATIFIKASI SOSIAL

“SISTEM STATUS DAN PELAPISAN MASYARAKAT SISTEM STATUS YANG BERUBAH”
Oleh : W.F. Wertheim
“STATUS SOSIAL DUA KOMUNITAS DESA DI SULAWESI SELATAN”
Oleh: Mochtar Buchori dan Wiladi Budiharga

Nama  : Indah Noviana / NIM : G34130073
Asisten : Khairun Nisa Mutma’inah / I34110059
 


Ikhtisar :
            Sekitar tahun 1990, Belanda berhasil menegakkan kekuasaannya di Indonesia. Pelapisan masyarakat kolonial berdasarkan garis ras biasa terjadi di Jawa. Di pulau-pulau seberang, uang yang melakukan pedobrakkan terhadap sistem yang lama. Sistem status bersendikan kelompok-kelompok suku bangsa tidak mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pola kemasyarakatan sebagaimana keadaannya di Jawa.
            Keresahan di daerah pertanian di pulau-pulau seberang dalam kurun waktu 1920-an disebabkan karena perlawanan para petani yang baru saja menjadi kaya terhada struktur tradisioanal. Sepanjang ada hubungannya dengan pertentangan antara kepentingan petani bumiputera dengan pengusaha Barat, pemerintah tidak hanya bertindak sebagai pelindung dari dari kekuasaan tradisional para ketua adat, tetapi juga dari erkebunan-perkebunan Barat. Selain ukuran keagamaan yang mempunyai kepentingan besar, kesejahteraan materi dan pendidikan juga berpengaruh dinamis di luar pulau Jawa.
            Semenjak tahun 1900, bertambah meningkatnya perbedaan profesi di Jawa. Orang Indonesia semakin banyak bekerja di bidang perdagangan, mula-mula sebagai pedagang menengah kecil kemudian menjadi pedagang menengah. Perkembangan selanjutnya ketika masa depresi tahun 30an, suatu kelas bumiputera yang tumbuh telah mulai mendobrak susunan masyarakat tradisional lama dan melakukan pengaruh yang individual. Terlepas dari bentuk pendidikan yang di berikan dan sebagaimana lumrahnya pendidikan itu saja telah mendobrak struktur masyarakat pertanian. Dengan demikian, pendidikan telah mencipatakan suatu kelas baru kaum cendekiawan atau setengah yang menduduki suatu posisi khusus dalam masyarakat. Usaha pribadi untuk naik dalam tingkat-tingkat sosial dalam masyarakat ini tidak mengambil bentuk perjuangan untuk memperoleh laba dari perdagangan atau dari suatu pekerjaan bebas, tetapi dalam suatu perjuangan untuk mencapai pengakuan resmi dengan perantaraan ijazah.
            Ikatan-ikatan tradisional memainkan peranan dalam usaha mengumpulkan sejumlah uang untuk memungkinkan seorang anak pergi belajar, karena beberapa orang anggota keluarga harus ikut serta membelanjai sekolah anak itu, sedangkan seluruh keluarga berusaha untuk mengambil untung dari padanya. Pendidikan telah menciptakan seluruh kelas orang Indonesia yang mempunyai pendidikan Barat sampai tingkat tertentu.
            Baru setelah tahun 1990, pendidikan terbuka untuk sejumlah besar orang-orang Indonesia. Permintaan akan tenaga terlatih selalu meningkat. Tetapi untuk pengangkatan yang meminta pendidikan tinggi yang pada umumnya untuk sementara waktu hanya dapat diisi oleh orang-orang Indo, maka diadakan skala gaji khusus, disesuaikan dengan tingkat hidup golongan Indo yang lebih tinggi.
            Persaingan yang semakin hebat dalam suatu masyarakat karena adanya suatu sistem ekonomi yang dominan, serta terdapat lebih banyak lamaran dari pada kesempatan kerja, menyebabkan para anggota kaum borjuis mempersatukan barisan untuk mencapai solidaritas kelompok. Di pihak lain, di kalangan orang-orang Indonesia terdapat kecenderungan yang lebih besar untuk mengadakan persatuan. Wanita-wanita Indonesia dengan rasa harga diri semakin lama semakin mengindahkan bekerja sebagai pembantu rumah tangga merangkap selir bagi laki-laki Eropa yang tidak kawin. Dalam tahun kemelut, perjuangan persaingan ini menjadi lebih hebat. Terhapusnya sedikit demi sedikit sistem kolonial ini serta meningkatnya kemakmuran dan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia merupakan mimpi yang sangat dinanti-nanti oleh masyarakat Indonesia sendiri. Namun masih saja terdapat pihak-pihak yang berusaha menahan perkembangan ini baik dari sisa struktur feodal maupun kolonial.
Ikhtisar 2 :
            Terdapat tiga lapisan pokok golongan masyarakat di Desa Maricaya Selatan, yaitu lapisan atas yang ditempati oleh pejabat dan kelompok profesional. Lapisan menengah yang terdiri atas alim ulama, pegawai,dan pedagang.  Dan lapisan bawah yang terdiri dari golongan buruh. Ketiga lapisan masyarakat tersebut juga dapat dipandang dalam segi ekonomi. Walaupun di daerah ini memiliki lapisan-lapisan golongan yang cukup besar serta bersifat heterogen, masyarakat daerah ini masih menjunjung tinggi yang namanya hidup sosial. Nampak dari keterbukaan kaum mayoritas terhadap kaum minoritas serta kaum menengah yang berusaha untuk mengembangkan pergaulan sosial yang terbuka antar golongan.
            Berdasarkan penelitian, dalam masyarakat Maricaya Selatan, golongan buruh miskin merupakan kelas yang agak tercampak. Para pejabat dan kelompok profesional yang termasuk golongan ekonomi mampu dan menduduki lapisan sosial atas tampaknya secara keseluruhan adalah orang-orang yang mendapat pendidikan perguruan tinggi. Juga media cetak yang beredar dalam masyarakatnya terdiri dari koran dan majalah yang lazimnya digemari dan terbeli oleh keluarga-keluarga dari kalangan atas. Terdapat pula yang melaporkan bahwa anggota masyarakat yang tidak mampu membeli koran dan majalah tersebut sering meminjam atau turut membaca dari mereka yang mampu membelinya.

            Di desa Poliweli, hampir sama dengan desa Maricaya Selatan, desa ini terdiri pula dengan tiga lapisan masyarakat yakni bawah, menegah dan atas. Yang berbeda hanya golongannya saja dimana ulama dan pemangku adat termasuk dalam kelompok atau kaum atas ini. Dan perlu diketahui bahwa pemangku adat di sini hampir seluruhnya merupakan keturunan Bugis, kelompok ulama dipegang oleh orang Bugis dan Mandar, dan kelompok lainnya dipegang oleh orang Toraja, Jawa, dan Cina. Dilihat secara ekonomi, masyarakat Polewali ini nampak terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan orang “kaya”, kelompok orang yang berkejayaan “sedang” dan kelompok “miskin”. Para warga Polewali dari kelas menengah tampaknya lebih mengikuti gaya hidup sederhana yang diperlihatkan oleh para pemangku adat dan alim ulama. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat Polewali, pendidikan adalah suatu hal yang mereka junjung tinggi. Masyarakat Polewali memiliki sifat yang lebih lugas dalam mengisi kehidupan sehari-hari mereka. Mereka lebih berpegang teguh pada ajaran agama yang mereka dapatkan yang terjadi disekitar mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar