“
KONDISI SOSIO-KULTURAL DALAM ERA TELEVISI TRANSNASIONAL”
Oleh: Veven S.P. Wardhana
Nama
: Indah Noviana / NIM : G34130073
Asisten Praktikum: Khairun Nisa
Mutma’inah / I34110059
Ikhtisar
1:
Perjalanan
bangsa ini mengarah pada suatu Negara otoriter yang diiringi pemusatan
kekuasaan pada presiden. Tidak seimbangnya kekuasaan antara presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif dengan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif
menjadikan bangsa ini masih terengah-engah untuk menciptakan bangunan hukum
yang kokoh dan demokratis. Terjadinya pemusatan kekuasaan bersumber pada
demokratisasi yang tidak berjalan.
Awal dari pemusatan kekuasaan pada
masa Orla yaitu munculnya TAP MPRS yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden
seumur hidup. Setelah ditumpasnya G30S/PKI tatanan Negara ini berada di bawah
tatanan Orba. Demokrasi yang dipraktikkan bangsa ini berada pada level
demokrasi formal yang dilakukan oleh DPR sebagai wakil rakyat.
Pada
awal Orde Baru telah dirancang bangunan yang menitik beratkan pada pembangunan
sektor ekonomi dengan membangun stabilitas nasional lebih dulu. Doktrin bahwa
“apa yang dikatakan pemerintah adalah benar” pun muncul. Terdapat dua situasi
yang menunjukkan belum terciptanya undang-undang secara demokratis. Situasi
pertama terjadi ketika pertumbuhan ekonomi sudah membaik pemerintah tidak
segera mengalihkan kemudi pembangunan ekonomi. Situasi kedua yaitu telah
terjadi salah penafsiran terhadap kata “mandataris” sebagai atribut yang
menyertai jabatan presiden yang terdapat dalam penjelasan UUD. Awalnya presiden
hanya seolah-olah sebagai mandataris MPR, namun yang terjadi kemudian yaitu
bahwa pelaksana kedaulatan adalah presiden.
Jalan
keluar yang dapat dilakukan adalah melakukan reformasi politik dengan mencabut
undang-undang yang isinya menghambat jalannya demokratisasi dan cenderung
memunculkan pemerintahan yang terpusat pada presiden. Permasalahan ini dapat
diatasi jika ada kehendak dari pemegang kuasa untuk melakukan perubahan.
Ikhtisar 2 :
Tumpah
darah pada penggantian Orla dilakukan oleh PKI yang kemudian terjadi balas
dendam. Pertumpahan darah pun terjadi ketika pergantian Orba yang dilakukan
oleh orang-orang bersenjata terhadap pendemo di Universitas Trisakti. Orbaba
(Orde baru yang lebih baru) pun menggantikan Orde Baru dengan proses yang sama.
Adanya
persamaan antara Orla dengan Orba yaitu harga BBM dan tarif angkutan dinaikkan
dalam rupiah yang terlebih dulu jatuh, menonjolnya arah politik yang mengarah kedua
presiden agar diturunkan. Jatuhnya korban demo di depan Universitas Trisakti
karena penembakan oleh pengawal pasukan yang tidak bertanggung jawab memicu
kerusuhan dimana-mana. Kedua demo antara lain disebabkan oleh parpol yang
pongah dan presiden yang sangat berkuasa. Lima tahun kemudian Golkar
memperpanjang kedudukannya selama 25 tahun lebih. Presiden bisa menjadi apa
saja. Hukum ditundukkan oleh kepentingan politik dan ekonomi. Hal tersebut berkebalikan
dengan keluarga Bung Karno.
Pada
demo 1966 militer ada yang pro-kontra. Letjen Soeharto di pihak demonstran.
Presiden Soekarno didukung oleh Resimen Cakrabirawa dan beberapa kesatuan yang
lain. Tidak ada korban jiwa yang lebih banyak. Sedangkan pada demo 1998,
militer berdiri pada jalur undang-undang dan tidak ada yang langsung mendukung
demo. Terjadi pengorbanan yang amat mahal untuk pergantian presiden pada tahun
itu.
Didirikannya
kampus UI Depok bermaksud untuk menghambat gerak mahasiswa UI yang berdemo.
Sehingga mereka memilih halaman gedung DPR sebagai tempat demonstrasi. Soekarno mundur melalui dua proses, yaitu melalui
Supersemar dan partai-partai Islam di Indonesia mengeluarkan pernyataan agar
Presiden Soekarno turun. Sedangkan Soeharto turun hanya melalui satu langkah
besar, yaitu setelah mahasiswa dan pimpinan DPR mengultimatum agar wakil-wakil rakyat
segera mengadakan sidang. Akhirnya Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada
B.J.Habibie yang kemudian disumpah di depan MA.
Ikhtisar 3 :
Orang
luar acap kali mengasosiasikan daerah Sampang (Madura) dengan sosok
masyarakatnya yang kaku, keras, hidup di daerah tandus, dan dalam kemiskinan.
Pada tahun 1993 terjadinya Tragedi Nipah yang menewaskan beberapa orang ataupun
cacat seumur hidup. Nipah merupakan ilham bagi perlawanan agrarian terhadap
kerakusan kekuasaan dan modal atas tanah.
Pada tahun 1997, masyarakat Sampang
menentang hasil pemilu karena dinilai penuh kecurangan dan rekayasa untuk
memenangkan partai Golkar. Sampang mengilhamkan masyarakat lain bahwa jika
membangun demokrasi, jangan hanya bicara teori , tapi juga harus ada aksi
melawan rezim otoritarian. Menurut Farid Alfauzi, anggota DPRD Jatim asal
Madura, “sudah terlanjur terbentuk image di kalangan Sampang bahwa pemerintah
menindas rakyat”.
Ketika rezim Orba melakukan
penggarapan partai-partai politik untuk memenangkan Golkar, Sampang menjadi
basis perlawanan Partai NU. Hingga pemilu 1987, Sampang menjadi satu-satunya
daerah yang belum berhasil di-Golkar-kan. Pada pamilu 1992 dan 1997, adanya
saling tarik menarik antara Golkar dengan PPP , hingga akhirnya Golkar
memenangkan kursi lebih banyak dari PPP walaupun diwarnai pencoblosan dan amuk
massa pada pemilu 1997. Fadhilah yang sebagai Bupati, kini menjadi kawan untuk
menghadang PKB, padahal awalnya adalah musuh utama PPP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar