Minggu, 20 Juli 2014

responsi sosum " KOMUNIKASI "

“ KONDISI SOSIO-KULTURAL DALAM ERA TELEVISI TRANSNASIONAL”
Oleh: Veven S.P. Wardhana
Nama  : Indah Noviana / NIM : G34130073
Asisten Praktikum: Khairun Nisa Mutma’inah / I34110059
 


Ikhtisar 1:
            Perjalanan bangsa ini mengarah pada suatu Negara otoriter yang diiringi pemusatan kekuasaan pada presiden. Tidak seimbangnya kekuasaan antara presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dengan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif menjadikan bangsa ini masih terengah-engah untuk menciptakan bangunan hukum yang kokoh dan demokratis. Terjadinya pemusatan kekuasaan bersumber pada demokratisasi yang tidak berjalan.
            Awal dari pemusatan kekuasaan pada masa Orla yaitu munculnya TAP MPRS yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Setelah ditumpasnya G30S/PKI tatanan Negara ini berada di bawah tatanan Orba. Demokrasi yang dipraktikkan bangsa ini berada pada level demokrasi formal yang dilakukan oleh DPR sebagai wakil rakyat.
            Pada awal Orde Baru telah dirancang bangunan yang menitik beratkan pada pembangunan sektor ekonomi dengan membangun stabilitas nasional lebih dulu. Doktrin bahwa “apa yang dikatakan pemerintah adalah benar” pun muncul. Terdapat dua situasi yang menunjukkan belum terciptanya undang-undang secara demokratis. Situasi pertama terjadi ketika pertumbuhan ekonomi sudah membaik pemerintah tidak segera mengalihkan kemudi pembangunan ekonomi. Situasi kedua yaitu telah terjadi salah penafsiran terhadap kata “mandataris” sebagai atribut yang menyertai jabatan presiden yang terdapat dalam penjelasan UUD. Awalnya presiden hanya seolah-olah sebagai mandataris MPR, namun yang terjadi kemudian yaitu bahwa pelaksana kedaulatan adalah presiden.
            Jalan keluar yang dapat dilakukan adalah melakukan reformasi politik dengan mencabut undang-undang yang isinya menghambat jalannya demokratisasi dan cenderung memunculkan pemerintahan yang terpusat pada presiden. Permasalahan ini dapat diatasi jika ada kehendak dari pemegang kuasa untuk melakukan perubahan.
 


Ikhtisar 2 :
            Tumpah darah pada penggantian Orla dilakukan oleh PKI yang kemudian terjadi balas dendam. Pertumpahan darah pun terjadi ketika pergantian Orba yang dilakukan oleh orang-orang bersenjata terhadap pendemo di Universitas Trisakti. Orbaba (Orde baru yang lebih baru) pun menggantikan Orde Baru dengan proses yang sama.
            Adanya persamaan antara Orla dengan Orba yaitu harga BBM dan tarif angkutan dinaikkan dalam rupiah yang terlebih dulu jatuh, menonjolnya arah politik yang mengarah kedua presiden agar diturunkan. Jatuhnya korban demo di depan Universitas Trisakti karena penembakan oleh pengawal pasukan yang tidak bertanggung jawab memicu kerusuhan dimana-mana. Kedua demo antara lain disebabkan oleh parpol yang pongah dan presiden yang sangat berkuasa. Lima tahun kemudian Golkar memperpanjang kedudukannya selama 25 tahun lebih. Presiden bisa menjadi apa saja. Hukum ditundukkan oleh kepentingan politik dan ekonomi. Hal tersebut berkebalikan dengan keluarga Bung Karno.
            Pada demo 1966 militer ada yang pro-kontra. Letjen Soeharto di pihak demonstran. Presiden Soekarno didukung oleh Resimen Cakrabirawa dan beberapa kesatuan yang lain. Tidak ada korban jiwa yang lebih banyak. Sedangkan pada demo 1998, militer berdiri pada jalur undang-undang dan tidak ada yang langsung mendukung demo. Terjadi pengorbanan yang amat mahal untuk pergantian presiden pada tahun itu.
            Didirikannya kampus UI Depok bermaksud untuk menghambat gerak mahasiswa UI yang berdemo. Sehingga mereka memilih halaman gedung DPR sebagai tempat demonstrasi.  Soekarno mundur melalui dua proses, yaitu melalui Supersemar dan partai-partai Islam di Indonesia mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soekarno turun. Sedangkan Soeharto turun hanya melalui satu langkah besar, yaitu setelah mahasiswa dan pimpinan DPR mengultimatum agar wakil-wakil rakyat segera mengadakan sidang. Akhirnya Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada B.J.Habibie yang kemudian disumpah di depan MA.
 


Ikhtisar 3 :
            Orang luar acap kali mengasosiasikan daerah Sampang (Madura) dengan sosok masyarakatnya yang kaku, keras, hidup di daerah tandus, dan dalam kemiskinan. Pada tahun 1993 terjadinya Tragedi Nipah yang menewaskan beberapa orang ataupun cacat seumur hidup. Nipah merupakan ilham bagi perlawanan agrarian terhadap kerakusan kekuasaan dan modal atas tanah.
            Pada tahun 1997, masyarakat Sampang menentang hasil pemilu karena dinilai penuh kecurangan dan rekayasa untuk memenangkan partai Golkar. Sampang mengilhamkan masyarakat lain bahwa jika membangun demokrasi, jangan hanya bicara teori , tapi juga harus ada aksi melawan rezim otoritarian. Menurut Farid Alfauzi, anggota DPRD Jatim asal Madura, “sudah terlanjur terbentuk image di kalangan Sampang bahwa pemerintah menindas rakyat”.

            Ketika rezim Orba melakukan penggarapan partai-partai politik untuk memenangkan Golkar, Sampang menjadi basis perlawanan Partai NU. Hingga pemilu 1987, Sampang menjadi satu-satunya daerah yang belum berhasil di-Golkar-kan. Pada pamilu 1992 dan 1997, adanya saling tarik menarik antara Golkar dengan PPP , hingga akhirnya Golkar memenangkan kursi lebih banyak dari PPP walaupun diwarnai pencoblosan dan amuk massa pada pemilu 1997. Fadhilah yang sebagai Bupati, kini menjadi kawan untuk menghadang PKB, padahal awalnya adalah musuh utama PPP. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar