Minggu, 20 Juli 2014

responsi sosum : KELEMBAGAAN SOSIAL

Model Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi”
Oleh : Djuhendi Tadjudin
Sistem Bagi Hasil di Jawa Tengah
Oleh : Warner Roell
Nama  : Indah Noviana / NIM : G34130073
Asisten : Khairun Nisa Mutma’inah / I34110059
Ikhtisar 1 :
            Masyarakat Badui Luar di Kanekes lebih memilih memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru tua. Kebanyakan konsep disusun untuk mengedepankan ukuran-ukuran ekonomi mikro. Sedangkan kelestarian lingkungan hanya sebagai kosmetik. Ketika konsep  itu direalisasikan, pada satu sisi akan tercapai kinerja mikro yang cukup tinggi. Pada sisi lain juga terjadi kerusakan lingkungan dan peminggiran masyarakat setempat. Walaupun tujuan-tujuan penegelolaan dan pendayagunaan sumberdaya bersifat universal, pola-pola pengelolaannya harus harus disesuaikan dengan keunikan-keunikan lokal.
            Menurut Kartodihardjo (1999), kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksal. Akibatnya kerusakan hayati tetap melaju dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Praktik pengelolaan sumberdaya hutan saat ibi sarat dengan persengketaan yang terkait dengan masalah hutan alam produksi dipandang  dalam tatanilai, hak pemilikan (kelembagaan:institusi), dan model pengeloaan (organisasi) . Ketiganya berkaitan dengan pemerintah, masyarakat, dan swasta. 
            Hutan Kemasyarakatan merupakan perwujudan bentuk pengelolaan hutan yang mengakonodasikan kepentingan dan partisipasi masyarakat secara luas. Penerapan konsep ini membutuhkan revitaliasi kelembagaan, seperti desentralisasi, devolusi, dan perubahan paradigma pemerintah dari status sebagai “polisi” menjadi fasilitator dengan segala implikasinya. Perubahan posisi masyarakat yang semula merupakan bagian eksternal menjadi suatu bagian internal dari sistem manajemen yang bersangkutan .
            Yang berkesempatan untuk mengelola sumberdaya hutan adalah “masyarakat setempat” yang diartikan sebagai sekelompok orang warga negara Republik Indonesia yang tinggal di sekitar hutan.  Hutan kemasyarakatan diterapkan dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan pelestarian alam pada zona yang tidak dibebani hak-hak lain di bidang kehutanan. Masyarkat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan, berperan sebagai rumah tangga yang bertujuan untuk memaksimumkan utilitas dan sebagai entitas bisnis ynag bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan.
            Tujuan pengelolaan hutan produksi harus mencapai hasil akhir efisiensi , keadilan, keberlanjutan, dan pemeliharaan keanekaragaman sumberdaya hayati. Bagaimana pun format kelembagaan yang diusulkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan alam oleh masyarakat, kelembagaan itu henddaknya berunsur pokok: batas yuridiksi, aturan main, dan aturan perwakilan, format kelembagaan harus bersifat dinamik, yang berarti adaptif terhadap perubahan. Perumusan bentuk kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan alam produksi akan lebih afektif bila dilakukan oleh lembaga pemerintah yang ada di daerah.
Ikhtisar II :

Pada tahun 1969 dilakukan penelitian sistem bagi hasil atas bantuan Peneliti Jerman dalam Proyek Pertanian Makmur di Klaten, Jawa Tengah. Studi pembandingnya dilakukan di Desa Sukoharjo di dekatnya. Padahal sebenarnya Undang-Undang Agraria Tahun 1990 mengharuskan mengolah sendri tanah pertanian. Sensus pertanian tahun 1963 memperlihatkan bahwa pengolah tanah oleh orang lain berjumlah 17%, sedangkan khusus untuk daerah Jawa Tengah berjumlah 24%. Perbedaan data untuk jumlah sistem garap dan sistem bagi hasil disebabkan oleh statistik pertanian di Indonesia yang jauh dari memadai.
            Buruh dengan upah hasil bumi, buruh tani garapan dan buruh bagi hasil berperan penting dalam pertanian di Indonesia dan di daerah-daerah lainnya di Asia Tenggara. Hingga saat ini belum ada kejelasan informasi mengenai perubahan kualitatif bagi hasil, bentuk khusus kerja upahan dan garapan telah meningkat dengan pesat dibandingkan pada awal abad ini. Sistem garapan yang terus meningkat merupakan tanda semakin meningkatnya jumlah penduduk tani yang menganggur. Kurangnya modal dan tawaran berlebihan akan sarana produksi berupa tenaga kerja, menyebabkan timbulnya sistem bagi hasil dan hubungan kerja dasar bagian yang sedikit bagi penggarap dalam mengolah lahannya.
            Salah satu ciri khas usaha pertanian adalah skala usaha yang kecil. Usaha ini dibebani oleh besarnya bagian penyediaan sendiri sarana produksi yang diperlukan untuk mengelola lahan. Hal ini diperparah dengan penghancuran beberapa usaha perkebunan Belanda pada masa kependudukan Jepang (1942-1945) yang mengakibatkan banyak terjadi pemberontakan selama beberapa tahun setelah perang. . Padahal sistem ibagi hasil ni berakar dari masa penjajahan yang bermula pada hukum pemilikan tanah feodal kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. Sistem ini mensyahkan hak pemilikan kaum bangsawan terhadap apa saja yang ada di dalam daerah kekuasaannya.
            Si penggarap terutama berasal dari kelompok sosial pedesaan bawah, yaitu (Pe)tani setengah kenceng, (Pe)tani ngindung, (Pe)tani templek, dan (Pe)tani tlosor.  Kebanyakan dari mereka hanya memiliki peralatan sederhana, sedangkan kepemilikan hewan pembajak seperti kerbau hanyalah identitas pemimpin desa yang merupakan kelas atas desa sebenarnya di pedesaan Jawa Tengah. Kelompok sosial desa (pe)tani kenceng dan (pe)tani gundul memiliki tanah pribadi yang lebih luas dari tanah desa.        Adapun bentuk-bentuk dasar bagi hasil yang banyak digunakan, yaitu sistem maro, sistem mertelu, dan sistem mrapat. Yang banyak dipakai adalah sistem maro (garap separuh, agi separuh). Sebagai ukuran dasar perbandingan bagi hasil adalah kualitas tanah, letak tanah, dan sebagainya. Juga bagian penyediaan sarana produksi seperti bibit, pupuk, ternak pembajak, dan sebagainya merupakan kriteria selanjutnya. Banyak kasus dimana penggarap dibebankan semua kerja dan ongkos produksi tersebut. Apalagi diperburuk dengan adanya sromo, pembayaran tambahan uang oleh penggarap kepada pemilik tanah sebelum memulai penggarapan. Tidak ditemukan bentuk penambahan imbalan sromo lainnya dari penggarap kepada pemilik tanah, seperti memberikan tenaga (J.Kohler). Termasuk pula di dalamnya kebanyakan ongkos untuk upacara tanam dan panen. Hal yang sama juga terjadi pada daerah tetangga di Sukoharjo.
            Penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil ini harus dilakukan, karena berdampak pada landasan eksistensi juga mempertahankan kemiskinan.  Pelaksanaan perubahan Undang-Undang Agraria tahun 1960 dapat menjadi langkah awal yang mengantarkan ke proses perubahan sosial yang lebih baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar