Kamis, 24 Juli 2014

Esai Lingkungan dan Pelestariannya

Pertambahan Penduduk  Vs Kualitas Lingkungan Hidup

Pertambahan jumlah penduduk merupakan fenomena yang umum terjadi pada setiap wilayah, baik lingkup kota, provinsi, maupun negara. Hal tersebut sudah sangat tak asing jika pandangan kita tersudut pada nusantara ini. Indonesia berada pada peringkat keempat yang penduduknya terbanyak di dunia (2010). Jumlah penduduk bertambah 32.508.868 penduduk dari sensus 2010-2005 berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa terjadi kenaikan jumlah penduduk di Indonesia tiap tahunnya. Pertambahan penduduk ini di sebabkan oleh faktor-faktor  tertentu seperti ; fertilitas (kelahiran), moralitas (kematian), dan migrasi (perpindahan). Kenaikan penduduk tentunya memiliki dampak terhadap berbagai aspek, salah satunya dalam aspek lingkungan hidup.
Bila merujuk pada pasal 1 butir 1 UU Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Dalam penjelasannya, lingkungan hidup merupakan sistem yang meliputi lingkungan alam hayati, lingkungan buatan dan lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perilaku kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kelangsungan lingkungan hidup erat kaitannya dengan aktivitas manusia. Untuk menciptakan kehidupan dan lingkungan yang seimbang sangat tergantung dari kegiatan manusia. Sedangkan kegiatan manusia sangat dipengaruhi oleh kesadaran manusia itu sendiri dalam mengelola dan membina lingkungan.
Besarnya pengaruh kepadatan penduduk dengan lingkungan hidup ditunjukkan dengan bagaimana manusia berperilaku dengan lingkungannya sendiri. Jika para penghuni lingkungan ini tidak menjunjung tinggi etika lingkungan dalam berinteraksi dengan lingkungannya, maka beragam permasalahan lingkungan akan timbul secara bertahap, dimulai dari penebangan liar; kebakaran hutan; menurunnya kuantitas flora dan fauna lokal; meningkatnya polusi udara yang menyebabkan sulitnya mendapatkan udara bersih; pencemaran lingkungan; banjir; semakin maraknya penambangan liar; tanah longsor; hingga kenaikan suhu global karena semakin banyaknya pembangunan jalan, rumah, maupun gedung-gedung bertingkat.
Jika menilik ke dalam nusantara ini, semua permasalahan di atas sudah dan sedang terjadi di Indonesia. Menurut data satelit yang dihimpun sejak Desember 1978, suhu global rata-rata meningkat 0.14 derajat Celcius per dekade hingga tahun 2011. Kenaikan suhu global tersebut sangat menggambarkan betapa turunnya kualitas lingkungan hidup di Indonesia.Penurunan kualitas lingkungan hidup di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor fertilitas dan migrasi yang dimana menjadikan bertambahnya penduduk Indonesia. Semakin banyak penduduk yang bertingkah semaunya terhadap lingkungan tempat tinggalnya, contoh kecilnya adalah buang sampah tidak pada tempatnya dan contoh kompleksnya adalah penggantian lahan hijau menjadi area pembangunan.
Ujung dari semua ledakan penduduk  adalah kerusakan lingkungan dengan segala dampak ikutannya seperti menurunnya kualitas pemukiman dan lahan yang ditelantarkan, serta hilangnya fungsi ruang terbuka. Dampak lonjakan populasi bagi lingkungan sebenarnya tidak sederhana. Persoalannya rumit mengingat persoalan terkait dengan manusia dan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup baik diakibatkan oleh unsur alam maupun unsur manusia belum secara optimal tertanggulangi, seperti penyelewengan terhadap dana reboisasi hutan, ketidak pedulian perusahaan indutri dalam menggulangi limbah industri dan kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya alam. Kepadatan penduduk dengan kecepatan pertumbuhannya dapat menekan sumber daya alam, eksploitasi lingkungan semakin tinggi.

Tidak cukup jika hanya mengandalkan tumbuhnya kesadaran pada masyarakat dengan sendirinya. Dibutuhkan sebuah tindakan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar mampu mempedulikan lingkungan hidup sekitarnya juga untuk mengurangi lonjakan kepadatan penduduk. Tindakan-tindakan tersebut diantaranya dari hal-hal yang kecil dengan memperbanyak tempat sampah untuk menghindari banyaknya sampah yang berserakan, mencanangkan program penghijauan, menyelamatkan fauna yang terancam kehilangan tempat tinggalnya dengan membawanya ke margasatwa, penggunaan bahan bakar dengan intensitas polusi yang kecil, diperbanyaknya gorong-gorong di sisi-sisi jalan sebagai jalur aliran air agar tidak menggenang, dan hal yang terpenting adalah penanaman rasa peduli dalam diri masing-masing bahwa tegakkah kita yang membiarkan generasi selanjutnya hidup dalam lingkungan yang rusak? Tindakan keras atapun ketidakpedulian kita terhadap bumi mungkin akan berbalik kita rasakan di masa mendatang . 

Minggu, 20 Juli 2014

For beloved, roommates in 197


terlalu bernilai tinggi jika dikenang
18 agustus 2013 
dalam hitungan 3600 sekon
aku tepat di depan area baru
terlalu asing memang
dan terlalu ramai
berisikan keluarga-keluarga baru 
yg tentunya nama pun masih tak tahu
lantas tak berhenti disini
kulanjutkan keingintahuanku
sampailah pada sebuah papan tertulis 197
hening, kosong, tak bertuan
ada secarik pesan disana
dari seorang gadis yang juga membaca ini
ungkapan penyambutan untukku
dan calon keluarga baruku
kami dari haluan berbeda
nabil si kalem dari tetangga tempat lahirku
gita si gadis ayu dari Lumajang
nida si imut dari tanah Sumatera
aku si anak metropolitan-sunda
perbedaan ini yang menjadikan kita satu
satu dalam menghargai budaya 

canda tawa hingga air mata menjadi warna
mewarnai lembaran kita sebagai insan bergelar
memang, terlalu fluktuatif kisah kami
di tengah jalan lurus 
tetap saja ada lembah yang tak mudah dikuasai
terkadang daya berfikirku pun habis 
Tapi yakinlah sobat
benang yang terulur di antara kita 
takkan mudah menjadi rapuh










selamat menghadapi masa kuliah yang sesungguhnya kawaaann ,, semoga menjadi yang lebih baik dari masa TPB :))

laporan studi pustaka ekologi "Taman Laut Bunaken"



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Pariwisata di Indonesia saat ini lebih mengarah kepada wisata alamiah yaitu mencakup wisata alam & wisata bahari. Artinya objek-objek wisata yang banyak dikunjungi adalah objek wisata alamiah, yang banyak di miliki di Indonesia. Oleh karena wisata alamiah menyangkut kondisi lingkungan maka keasrian, keaslian, kenyamanan & kebersihan objek wisata menjadi indikator penting bagi pengembangan ke arah yang lebih lanjut suatu objek wisata. Hal ini berarti objek wisata harus tetap terjaga dari segi ekosistem atau ekologi yang ada di objek wisata tersebut & disekitar objek wisata tersebut karena ini adalah konsep wisata berwawasan lingkungan. Konsep wisata berwawasan lingkungan berdasarkan pada prinsip konservasi & partisipasi masyarakat disekitarnya.
Taman Nasional Bunaken merupakan salah satu ikon kota Manado yang telah mendunia. Banyak sumber daya alam seperti ekosistem dan keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Fenomena alam laut yang ada di Taman Nasional Bunaken berbeda dengan taman laut lainnya, inilah yang menjadikan Taman Nasional Bunaken menjadi aset penting bagi kota Manado. Potensi ekonomi yang dimiliki Taman Nasional Bunaken cukup besar, sehingga memberi kesempatan untuk masyarakat sekitar untuk melakukan kegiatan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Untuk mengembangkan potensi Taman Nasional Bunaken diperlukan adanya langkah-langkah yang tepat seperti menciptakan konektivitas antar objek wisata dengan Taman Nasional Bunaken sebagai sentralnya. Jika hal ini dilakukan maka dalam jangka waktu yang panjang pariwisata di Sulawesi Utara dan Manado akan berkembang ke arah pariwisata yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

1.2  Rumusan Masalah

1.      Apa itu Taman Nasional Bunaken ?
2.      Seberapa besar potensi alam yang terkandung dalam Taman Nasional Bunaken?
3.   Bagaimana kontribusi serta keterlibatan masyarakat sekitar terhadap Taman Nasional Bunaken ?
4.      Apakah dapat dilakukan suatu keberlanjutan ekologi di Taman Nasional Bunaken ?

1.3  Tujuan

1.      Mengetahui rincian maupun deskripsi mengenai Taman Nasional Bunaken
2.      Mengetahui macam potensi alam yang terkandung dalam Taman Nasional Bunaken
3.      Mengetahui keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan Taman Nasional Bunaken
4.      Mengestimasikan ada atau tidaknya keberlanjutan ekologi di Taman Nasional Bunaken


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Taman Nasional Bunaken
 Taman Nasional Bunaken adalah taman laut yang terletak di Sulawesi Utara, Indonesia. Taman Nasional Bunaken merupakan salah satu tujuan ekowisata bahari di Indonesia yang sangat diminati wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.Taman ini terletak di Segitiga Terumbu Karang yang tersebar dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan kepulauan Solomon, serta menjadi habitat bagi 390 spesies terumbu karang dan juga berbagai spesies ikan, moluska, reptil dan mamalia laut. Taman Nasional Bunaken merupakan perwakilan ekosistem laut Indonesia, meliputi padang rumput laut, terumbu karang dan ekosistem pantai. Taman nasional ini didirikan pada tahun 1991 dan meliputi wilayah seluas 890.65 km². 97% dari taman nasional ini merupakan habitat laut, sementara 3% sisanya merupakan daratan, meliputi lima pulau: Bunaken, Manado Tua, Mantehage, Naen dan Siladen. ().
 Taman Nasional Bunaken ataupun Taman Laut Bunaken terletak di Kelurahan Bunaken Kecamatan Bunaken Kota Manado, Sulawesi Utara. Bunaken berjarak sekitar 7 mil dari pelabuhan Manado Terdapat 5 pulau yang termasuk dalam taman nasional ini yaitu Pulau Naen, Pulau Bunaken, Pulau Manado Tua, Pulau Siladen, dan Pulau Mantehage beserta anak pulau yang di sekelilingnya. Dan jumlah penduduk yang ada di kelima pulau tersebut sekitar 21.000 orang.

2.2 Potensi Alam di Taman Nasional  Bunaken
 Taman Nasional Bunaken memiliki beragam potensi alam yang terkandung  di taman laut seluas 75.265 hektar. Potensi biologi daratan di pulau-pulau Taman Nasional Bunaken kaya dengan jenis-jenis flora palma, sagu, woka, silar dan kelapa. Pohon mangga, pisang dan buah-buahan lain tersebar dimana-mana yang menjadi makanan bagi aneka serangga burung dan kelelawar. Jenis-jenis faunanya antara lain Yaki (kera hitam Sulawesi) dan Kuskus yang merupakan penghuni hutan di Pulau Manado Tua. Rusa terdapat di rawa-rawa pulau Mantehage pada siang hari dan keluar merumput di senja hari.
 Taman laut ini juga memiliki banyak potensi rumput laut yang berada di dekat dekat Arakan Wawontulap. Habitat rumput laut merupakan habitat bagi jenis duyung dan penyu laut. Selain itu, hutan bakau pun tak ketinggalan, lebih kurang 1800 ha luasan hutan bakau di Taman Nasional Bunaken. Hutan bakau ini berperan sebagai penyaring endapan lumpur dari daratan dan mencegah erosi garis pantai. Hutan ini kaya dengan berbagai jenis. Kepiting, udang, moluska, dan ikan-ikan muda dari berbagai jenis. Juga sebagai tempat bertelurnya kebanyakan jenis ikan. Beraneka jenis burung laut dan pantai seperti camar, bangau, dara laut, cengak terdapat disini.
Pantai pasir P. Bunaken, Manado Tua dan terutama Siladen kaya dengan kehidupan berbagai jenis umang, kepiting dan udang. Terumbu tepian mendominasi perairan pesisir, selain terumbu penghalang. Yang paling menarik adalah tebing karang vertikal, menghujam di bawah permukaan air hingga 25-50 meter. Terdapat 58 jenis keluarga binatang karang sudah teridentifikasi. Karang berkulit keras yang berjasa membangun terumbu karang. Belalainya yang, walau hanya 1 mm, mengeluarkan zat kapur yangmembentuk terumbu karang. Tebing bawah air memiliki banyak ceruk, celah dan rekahan, tempat persembunyian berbagai jenis vertebrata dan invertebrata laut.

2.3 Keterlibatan Masyarakat terhadap Taman Nasional Bunaken
Di wilayah ini, terdapat 22 desa dengan jumlah penduduk sekitar 35.000 jiwa. Penduduk yang didominasi petani dan nelayan tersebut sangat mengandalkan hasil alam dan ekowisata. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai nelayan atau petani kelapa, ubi jalar, pisang dan rumput laut untuk diekspor, sementara sebagian lainnya bekerja sebagai pemandu, pekerja di cottage dan nahkoda kapal. Itu artinya, masyarakat di sekitar Taman Nasional Bunaken mengoptimalkan peluang usaha yang dapat dilakukan di sekitar tempat tersebut  (Nugroho I. 2011).
 Pariwisata di wilayah ini terus dikembangkan. Antara tahun 2003 hingga 2006, jumlah pengunjung di Taman Nasional Bunaken mencapai 32.000 hingga 39.000 jiwa, dengan 8.000-10.000 diantaranya merupakan turis asing.Salah satu keunikan Taman Nasional Bunaken adalah kedalaman laut yang memisahkannya dengan daratan Sulawesi, yang bisa mencapai 1000 meter. Kedalaman ini menjadi semacam tekanan berbagai aktivitas manusia di daratan Sulawesi yang dapat berpengaruh buruk terhadap Taman Nasional Bunaken. Mungkin inilah yang menyebabkan Taman Nasional Bunaken sampai saat ini intensitas kerusakan masih lebih rendah dibandingkan taman laut lainnya. Walaupun tetap saja masih ada yang acuh terhadap lingkungan taman laut ini, seperti teknik penangkapan ikan yang merusak lingkungan, penambangan terumbu karang, penebangan pohon bakau dan wisata yang mulai tidak terkendali.

2.4 Keberlanjutan Ekologi di Taman Nasional Bunaken
 Setelah dilihat betapa besarnya potensi alam yang terkandung di Taman Nasional Bunaken, amat disayangkan jika tidak adanya tindakan keberlanjutan ekologi yang dapat mengembangkan keberadaan potensi di Taman Nasional Bunaken. Potensi alam yang ada sangat mampu untuk diberdayakan dalam objek yang lebih luas.  Jika ditelaah pada sudut pandang objek wisata, bagi negara berkembang, seperti Indonesia ini, industri pariwisata sangat diharapkan mampu meningkatkan ekonomi. Keberlanjutan ekologi tersebut dapat dilakukan dengan pengembangan ekowisata yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi dan juga dapat mengkonservasi warisan alam serta budaya. Konsep ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pariwisata yang ramah lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku wisata dan sudah seharusnya masyarakat mendapat dampak positif dari konsep ekowisata ini demi mendukung adanya keberlanjutan ekologi. Partisipasi masyarakat lokal ini bisa menjadi titik kunci dalam pengembangan ekowisata sekaligus dapat memotivasi mereka untuk lebih bertanggung jawab terhadap pemeliharaan lingkungan & pelestarian alam serta budaya.

BAB III

Simpulan
 Taman Nasional Bunaken merupakan salah satu objek wisata bahari yang sangat tinggi akan potensi alam yang dikandungnya, mulai dari potensi yang berhabitat di daratan, hutan bakau, hingga di laut dalam. Keterlibatan masyarakat di dalamnya tentu beragam, ada yang mengoptimalkan taman laut ini sebagai ladang untuk menggali usaha, ada juga yang memperburuk kondisi bahari taman laut ini. Seperti teknik penangkapan ikan yang dapat merusak lingkungan, penebangan hutan bakau, penambangan terumbu karang, serta aktivitas para wisatawan yang tak terkendali sehingga dapat menurunkan kualitastaman laut ini. Tapi di luar konteks itu, segala potensi yang terkandung di Taman Nasonal Bunaken sangat mungkin untuk diberdayakan demi terciptanya keberlanjutan ekologi.

Tinjauan Pustaka

Nugroho I. 2011. Ekowisata & Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Bunaken (diakses pada tanggal 27 Mei 2014)
http://www.seputarsulut.com/taman-laut-bunaken/ (diakses pada tanggal 27 Mei 2014)
http://www.pendakierror.com/tnlbmt.htm (diakses pada tanggal 27 Mei 2014)







responsi sosum " KOMUNIKASI "

“ KONDISI SOSIO-KULTURAL DALAM ERA TELEVISI TRANSNASIONAL”
Oleh: Veven S.P. Wardhana
Nama  : Indah Noviana / NIM : G34130073
Asisten Praktikum: Khairun Nisa Mutma’inah / I34110059
 


Ikhtisar 1:
            Perjalanan bangsa ini mengarah pada suatu Negara otoriter yang diiringi pemusatan kekuasaan pada presiden. Tidak seimbangnya kekuasaan antara presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dengan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif menjadikan bangsa ini masih terengah-engah untuk menciptakan bangunan hukum yang kokoh dan demokratis. Terjadinya pemusatan kekuasaan bersumber pada demokratisasi yang tidak berjalan.
            Awal dari pemusatan kekuasaan pada masa Orla yaitu munculnya TAP MPRS yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Setelah ditumpasnya G30S/PKI tatanan Negara ini berada di bawah tatanan Orba. Demokrasi yang dipraktikkan bangsa ini berada pada level demokrasi formal yang dilakukan oleh DPR sebagai wakil rakyat.
            Pada awal Orde Baru telah dirancang bangunan yang menitik beratkan pada pembangunan sektor ekonomi dengan membangun stabilitas nasional lebih dulu. Doktrin bahwa “apa yang dikatakan pemerintah adalah benar” pun muncul. Terdapat dua situasi yang menunjukkan belum terciptanya undang-undang secara demokratis. Situasi pertama terjadi ketika pertumbuhan ekonomi sudah membaik pemerintah tidak segera mengalihkan kemudi pembangunan ekonomi. Situasi kedua yaitu telah terjadi salah penafsiran terhadap kata “mandataris” sebagai atribut yang menyertai jabatan presiden yang terdapat dalam penjelasan UUD. Awalnya presiden hanya seolah-olah sebagai mandataris MPR, namun yang terjadi kemudian yaitu bahwa pelaksana kedaulatan adalah presiden.
            Jalan keluar yang dapat dilakukan adalah melakukan reformasi politik dengan mencabut undang-undang yang isinya menghambat jalannya demokratisasi dan cenderung memunculkan pemerintahan yang terpusat pada presiden. Permasalahan ini dapat diatasi jika ada kehendak dari pemegang kuasa untuk melakukan perubahan.
 


Ikhtisar 2 :
            Tumpah darah pada penggantian Orla dilakukan oleh PKI yang kemudian terjadi balas dendam. Pertumpahan darah pun terjadi ketika pergantian Orba yang dilakukan oleh orang-orang bersenjata terhadap pendemo di Universitas Trisakti. Orbaba (Orde baru yang lebih baru) pun menggantikan Orde Baru dengan proses yang sama.
            Adanya persamaan antara Orla dengan Orba yaitu harga BBM dan tarif angkutan dinaikkan dalam rupiah yang terlebih dulu jatuh, menonjolnya arah politik yang mengarah kedua presiden agar diturunkan. Jatuhnya korban demo di depan Universitas Trisakti karena penembakan oleh pengawal pasukan yang tidak bertanggung jawab memicu kerusuhan dimana-mana. Kedua demo antara lain disebabkan oleh parpol yang pongah dan presiden yang sangat berkuasa. Lima tahun kemudian Golkar memperpanjang kedudukannya selama 25 tahun lebih. Presiden bisa menjadi apa saja. Hukum ditundukkan oleh kepentingan politik dan ekonomi. Hal tersebut berkebalikan dengan keluarga Bung Karno.
            Pada demo 1966 militer ada yang pro-kontra. Letjen Soeharto di pihak demonstran. Presiden Soekarno didukung oleh Resimen Cakrabirawa dan beberapa kesatuan yang lain. Tidak ada korban jiwa yang lebih banyak. Sedangkan pada demo 1998, militer berdiri pada jalur undang-undang dan tidak ada yang langsung mendukung demo. Terjadi pengorbanan yang amat mahal untuk pergantian presiden pada tahun itu.
            Didirikannya kampus UI Depok bermaksud untuk menghambat gerak mahasiswa UI yang berdemo. Sehingga mereka memilih halaman gedung DPR sebagai tempat demonstrasi.  Soekarno mundur melalui dua proses, yaitu melalui Supersemar dan partai-partai Islam di Indonesia mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soekarno turun. Sedangkan Soeharto turun hanya melalui satu langkah besar, yaitu setelah mahasiswa dan pimpinan DPR mengultimatum agar wakil-wakil rakyat segera mengadakan sidang. Akhirnya Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada B.J.Habibie yang kemudian disumpah di depan MA.
 


Ikhtisar 3 :
            Orang luar acap kali mengasosiasikan daerah Sampang (Madura) dengan sosok masyarakatnya yang kaku, keras, hidup di daerah tandus, dan dalam kemiskinan. Pada tahun 1993 terjadinya Tragedi Nipah yang menewaskan beberapa orang ataupun cacat seumur hidup. Nipah merupakan ilham bagi perlawanan agrarian terhadap kerakusan kekuasaan dan modal atas tanah.
            Pada tahun 1997, masyarakat Sampang menentang hasil pemilu karena dinilai penuh kecurangan dan rekayasa untuk memenangkan partai Golkar. Sampang mengilhamkan masyarakat lain bahwa jika membangun demokrasi, jangan hanya bicara teori , tapi juga harus ada aksi melawan rezim otoritarian. Menurut Farid Alfauzi, anggota DPRD Jatim asal Madura, “sudah terlanjur terbentuk image di kalangan Sampang bahwa pemerintah menindas rakyat”.

            Ketika rezim Orba melakukan penggarapan partai-partai politik untuk memenangkan Golkar, Sampang menjadi basis perlawanan Partai NU. Hingga pemilu 1987, Sampang menjadi satu-satunya daerah yang belum berhasil di-Golkar-kan. Pada pamilu 1992 dan 1997, adanya saling tarik menarik antara Golkar dengan PPP , hingga akhirnya Golkar memenangkan kursi lebih banyak dari PPP walaupun diwarnai pencoblosan dan amuk massa pada pemilu 1997. Fadhilah yang sebagai Bupati, kini menjadi kawan untuk menghadang PKB, padahal awalnya adalah musuh utama PPP. 

Puisi "Pemilik Wewenang,Lupakah? "

Pemilik Wewenang , Lupakah ?
Indah Noviana


Ketika demokrasi menjelma menjadi gengsi
Puncak kejayaan para politisi
Dalam hitungan maju 60 bulan
Lenyap dalam genggaman
Membisu, tunduk dalam daftar perintah
Bergerak tapi tak melatah
Merenggut tapi tak bertangan
Hingga lepas dari genggaman

Wahai para pemilik wewenang
Kalian yang berdiri di atas ratapan rakyat
Lupakah ?
Sepatu mewahmu tlah menginjak kepala kami
Kesejahteraan yang kau elu-elukan
Hanya perjanjian tak berguna
Dedikasimu hanya formalitas di atas kertas
Anggap saja surat penjualan jual beli
Kemerdekaan kami kau tukar dengan materi
Kau naik daun dan perutmu pun semakin buncit

Butakah engkau tuan ?
Ada yang mengais dalam awan mendung
Mengais di bawah bahana penguasa

Kami meraung, kau menari
Kami terseret , kau menyeret titik lain
Kami menangis, kau,, ah pedulikah engkau tuan?!
Lupakah ?
Akan retorika janji yang kau deklamasikan

-          Wahai pemilik wewenang

                   Lupakah dengan kami ? -

responsi sosum : STRATIFIKASI SOSIAL

“SISTEM STATUS DAN PELAPISAN MASYARAKAT SISTEM STATUS YANG BERUBAH”
Oleh : W.F. Wertheim
“STATUS SOSIAL DUA KOMUNITAS DESA DI SULAWESI SELATAN”
Oleh: Mochtar Buchori dan Wiladi Budiharga

Nama  : Indah Noviana / NIM : G34130073
Asisten : Khairun Nisa Mutma’inah / I34110059
 


Ikhtisar :
            Sekitar tahun 1990, Belanda berhasil menegakkan kekuasaannya di Indonesia. Pelapisan masyarakat kolonial berdasarkan garis ras biasa terjadi di Jawa. Di pulau-pulau seberang, uang yang melakukan pedobrakkan terhadap sistem yang lama. Sistem status bersendikan kelompok-kelompok suku bangsa tidak mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pola kemasyarakatan sebagaimana keadaannya di Jawa.
            Keresahan di daerah pertanian di pulau-pulau seberang dalam kurun waktu 1920-an disebabkan karena perlawanan para petani yang baru saja menjadi kaya terhada struktur tradisioanal. Sepanjang ada hubungannya dengan pertentangan antara kepentingan petani bumiputera dengan pengusaha Barat, pemerintah tidak hanya bertindak sebagai pelindung dari dari kekuasaan tradisional para ketua adat, tetapi juga dari erkebunan-perkebunan Barat. Selain ukuran keagamaan yang mempunyai kepentingan besar, kesejahteraan materi dan pendidikan juga berpengaruh dinamis di luar pulau Jawa.
            Semenjak tahun 1900, bertambah meningkatnya perbedaan profesi di Jawa. Orang Indonesia semakin banyak bekerja di bidang perdagangan, mula-mula sebagai pedagang menengah kecil kemudian menjadi pedagang menengah. Perkembangan selanjutnya ketika masa depresi tahun 30an, suatu kelas bumiputera yang tumbuh telah mulai mendobrak susunan masyarakat tradisional lama dan melakukan pengaruh yang individual. Terlepas dari bentuk pendidikan yang di berikan dan sebagaimana lumrahnya pendidikan itu saja telah mendobrak struktur masyarakat pertanian. Dengan demikian, pendidikan telah mencipatakan suatu kelas baru kaum cendekiawan atau setengah yang menduduki suatu posisi khusus dalam masyarakat. Usaha pribadi untuk naik dalam tingkat-tingkat sosial dalam masyarakat ini tidak mengambil bentuk perjuangan untuk memperoleh laba dari perdagangan atau dari suatu pekerjaan bebas, tetapi dalam suatu perjuangan untuk mencapai pengakuan resmi dengan perantaraan ijazah.
            Ikatan-ikatan tradisional memainkan peranan dalam usaha mengumpulkan sejumlah uang untuk memungkinkan seorang anak pergi belajar, karena beberapa orang anggota keluarga harus ikut serta membelanjai sekolah anak itu, sedangkan seluruh keluarga berusaha untuk mengambil untung dari padanya. Pendidikan telah menciptakan seluruh kelas orang Indonesia yang mempunyai pendidikan Barat sampai tingkat tertentu.
            Baru setelah tahun 1990, pendidikan terbuka untuk sejumlah besar orang-orang Indonesia. Permintaan akan tenaga terlatih selalu meningkat. Tetapi untuk pengangkatan yang meminta pendidikan tinggi yang pada umumnya untuk sementara waktu hanya dapat diisi oleh orang-orang Indo, maka diadakan skala gaji khusus, disesuaikan dengan tingkat hidup golongan Indo yang lebih tinggi.
            Persaingan yang semakin hebat dalam suatu masyarakat karena adanya suatu sistem ekonomi yang dominan, serta terdapat lebih banyak lamaran dari pada kesempatan kerja, menyebabkan para anggota kaum borjuis mempersatukan barisan untuk mencapai solidaritas kelompok. Di pihak lain, di kalangan orang-orang Indonesia terdapat kecenderungan yang lebih besar untuk mengadakan persatuan. Wanita-wanita Indonesia dengan rasa harga diri semakin lama semakin mengindahkan bekerja sebagai pembantu rumah tangga merangkap selir bagi laki-laki Eropa yang tidak kawin. Dalam tahun kemelut, perjuangan persaingan ini menjadi lebih hebat. Terhapusnya sedikit demi sedikit sistem kolonial ini serta meningkatnya kemakmuran dan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia merupakan mimpi yang sangat dinanti-nanti oleh masyarakat Indonesia sendiri. Namun masih saja terdapat pihak-pihak yang berusaha menahan perkembangan ini baik dari sisa struktur feodal maupun kolonial.
Ikhtisar 2 :
            Terdapat tiga lapisan pokok golongan masyarakat di Desa Maricaya Selatan, yaitu lapisan atas yang ditempati oleh pejabat dan kelompok profesional. Lapisan menengah yang terdiri atas alim ulama, pegawai,dan pedagang.  Dan lapisan bawah yang terdiri dari golongan buruh. Ketiga lapisan masyarakat tersebut juga dapat dipandang dalam segi ekonomi. Walaupun di daerah ini memiliki lapisan-lapisan golongan yang cukup besar serta bersifat heterogen, masyarakat daerah ini masih menjunjung tinggi yang namanya hidup sosial. Nampak dari keterbukaan kaum mayoritas terhadap kaum minoritas serta kaum menengah yang berusaha untuk mengembangkan pergaulan sosial yang terbuka antar golongan.
            Berdasarkan penelitian, dalam masyarakat Maricaya Selatan, golongan buruh miskin merupakan kelas yang agak tercampak. Para pejabat dan kelompok profesional yang termasuk golongan ekonomi mampu dan menduduki lapisan sosial atas tampaknya secara keseluruhan adalah orang-orang yang mendapat pendidikan perguruan tinggi. Juga media cetak yang beredar dalam masyarakatnya terdiri dari koran dan majalah yang lazimnya digemari dan terbeli oleh keluarga-keluarga dari kalangan atas. Terdapat pula yang melaporkan bahwa anggota masyarakat yang tidak mampu membeli koran dan majalah tersebut sering meminjam atau turut membaca dari mereka yang mampu membelinya.

            Di desa Poliweli, hampir sama dengan desa Maricaya Selatan, desa ini terdiri pula dengan tiga lapisan masyarakat yakni bawah, menegah dan atas. Yang berbeda hanya golongannya saja dimana ulama dan pemangku adat termasuk dalam kelompok atau kaum atas ini. Dan perlu diketahui bahwa pemangku adat di sini hampir seluruhnya merupakan keturunan Bugis, kelompok ulama dipegang oleh orang Bugis dan Mandar, dan kelompok lainnya dipegang oleh orang Toraja, Jawa, dan Cina. Dilihat secara ekonomi, masyarakat Polewali ini nampak terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan orang “kaya”, kelompok orang yang berkejayaan “sedang” dan kelompok “miskin”. Para warga Polewali dari kelas menengah tampaknya lebih mengikuti gaya hidup sederhana yang diperlihatkan oleh para pemangku adat dan alim ulama. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat Polewali, pendidikan adalah suatu hal yang mereka junjung tinggi. Masyarakat Polewali memiliki sifat yang lebih lugas dalam mengisi kehidupan sehari-hari mereka. Mereka lebih berpegang teguh pada ajaran agama yang mereka dapatkan yang terjadi disekitar mereka.

responsi sosum : GRUP

“Sistem Pondok”
Oleh : Wariso Ram

Nama  : Indah Noviana / NIM : G34130073
Asisten : Khairun Nisa Mutma’inah / I34110059
 


Ikhtisar :
            Sebagian besar migran sirkuler berasal dari rumah tangga desa yang berada dalam keadaan “ketidakcukupan”  . Namun pada sudut pandang yang lain, seperti yang dikatakan oleh Dewey, mereka adalah pekerja yang rajin. Keadaan yang serba keidakcukupan ini mendorong mereka untuk melakukan usaha mandiri secara kecil-kecilan dengan menekan modal. Sebagian dari mereka telah berhasil menghimpun modal dan mencoba membuka usaha baru yang kurang menarik bagi para pemilik modal dari kalangan elit dengan mengandalkan modal yang terbatas, menggunakan peralatan sederhana, dan keterampilan yang mudah dipelajari. Mereka juga pernah menjadi karyawan dalam proses pembuatan barang.
            Merupakan  bentuk persemaian yang subur bagi perkembangan sistem pondok di kalangan migran sirkuler ketika terjadinya kerjasama antara migran yang sedikit modal tapi berpengalaman dengan migran yang dalam posisi dependen tapi mampu mengembangkan aktivitas perekonomian. Jenis usaha yang mereka lakukan adalah yang berbasis padat karya dengan dilandasi azas kerukunan atau azas kekeluargaan. Dalam sistem pondok diperlukan hubungan yang selaras antara pemilik pondok dengan karyawan penjual dan hubungan yang harmonis di antara sesama karyawan dan penjual. Antara majikan dan karyawan sering terdapat hubungan darah atau asal desa yang sama.
            Macam sistem pondok yang pertama yaitu sistem pondok gotong royong. Setiap anggota berkedudukan sama, terbentuk atas dasar kegotongroyongan para anggota, jumlah keanggotaannya kecil, sehingga memiliki hubungan yang kuat antar anggotanya. Ketika terjadi kerusakan pada barang yang dipasarkan akan menjadi tanggung jawab kelompok. Jika ada anggota yang ketahuan tidak jujur, akan sulit dipercaya orang lain di kemudian hari.
            Sistem pondok yang kedua disebut sistem pondok rumah tangga. Dimana kedudukan pemilik pondok sebagai kepala rumah tangga dan para penghuni pondok sebagai anggota rumah tangga. Jumlah keanggotaan yang sedikit dan ditambah lagi belum adanya pembagian tugas. Azas kekeluargaan juga melandasi hubungan antara pemilik pondok dengan penghuni. Sistem ini memberikan ketenangan para migran yang berasal dari desa yang jauh. Dalam sisitem ini belum digunakannya teknologi dalam proses produksi.
            Sistem pondok yang ketiga adalah sistem pondok usaha perseorangan. Sistem ini telah dikenal deferensiasi tenaga yang bertugas sebagai karyawan ataupun sebagai penjual. Kedudukan pemilik pondok boro lebih serupa dengan kedudukan seorang majikan dalam perusahaan perseorangan. Hubungan majikan dengan karyawan lebih erat dibandingkan hubungan majikan dengan penjual. Resiko kerugian dalam pemasaran ada kalanya ditanggung si penjual dan ada kalanya ditanggung majikan. Terdapat saling ketergantungan antara majikan dengan penjual. Semakin banyak jumlah penjual yang tinggal di pondoknya, semakin besar keuntungan yang diterima. Sedangkan penjual menggantungkan penghasilannya pada majikan. Dalam sistem ini telah digunakan teknologi yang produktif dengan jumlah karyawan dan penjual mencapai puluhan.
            Sistem pondok yang terakhir adalah sistem pondok sewa. Pemilik pondok tidak terlibat dalam kegiatan produksi ataupun pemasaran barang. Para migran sekuler yang tinggal di pondok boro berperan sebagai penyewa, produsen kecil, dan sebagai penjual hasil produksinya sendiri. Dalam sistem ini digunakan mesin dan peralatan milik pemilik pondok boro. Hubungan antara pemilik pondok dengan migran sekuler agak renggang dengan sifat kekeluargaan yang kurang jelas.
            Hampir semua pemilik pondok boro berperan sebagai pelindung para penghuni pondok. Jika dilihat dari jenis kegiatan yang dilakukan oleh penghuninya, pondok boro dapat dibedakan menjadi pondok boro buruh; penjual; dan produksi.  

           

responsi sosum : KELEMBAGAAN SOSIAL

Model Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi”
Oleh : Djuhendi Tadjudin
Sistem Bagi Hasil di Jawa Tengah
Oleh : Warner Roell
Nama  : Indah Noviana / NIM : G34130073
Asisten : Khairun Nisa Mutma’inah / I34110059
Ikhtisar 1 :
            Masyarakat Badui Luar di Kanekes lebih memilih memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru tua. Kebanyakan konsep disusun untuk mengedepankan ukuran-ukuran ekonomi mikro. Sedangkan kelestarian lingkungan hanya sebagai kosmetik. Ketika konsep  itu direalisasikan, pada satu sisi akan tercapai kinerja mikro yang cukup tinggi. Pada sisi lain juga terjadi kerusakan lingkungan dan peminggiran masyarakat setempat. Walaupun tujuan-tujuan penegelolaan dan pendayagunaan sumberdaya bersifat universal, pola-pola pengelolaannya harus harus disesuaikan dengan keunikan-keunikan lokal.
            Menurut Kartodihardjo (1999), kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksal. Akibatnya kerusakan hayati tetap melaju dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Praktik pengelolaan sumberdaya hutan saat ibi sarat dengan persengketaan yang terkait dengan masalah hutan alam produksi dipandang  dalam tatanilai, hak pemilikan (kelembagaan:institusi), dan model pengeloaan (organisasi) . Ketiganya berkaitan dengan pemerintah, masyarakat, dan swasta. 
            Hutan Kemasyarakatan merupakan perwujudan bentuk pengelolaan hutan yang mengakonodasikan kepentingan dan partisipasi masyarakat secara luas. Penerapan konsep ini membutuhkan revitaliasi kelembagaan, seperti desentralisasi, devolusi, dan perubahan paradigma pemerintah dari status sebagai “polisi” menjadi fasilitator dengan segala implikasinya. Perubahan posisi masyarakat yang semula merupakan bagian eksternal menjadi suatu bagian internal dari sistem manajemen yang bersangkutan .
            Yang berkesempatan untuk mengelola sumberdaya hutan adalah “masyarakat setempat” yang diartikan sebagai sekelompok orang warga negara Republik Indonesia yang tinggal di sekitar hutan.  Hutan kemasyarakatan diterapkan dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan pelestarian alam pada zona yang tidak dibebani hak-hak lain di bidang kehutanan. Masyarkat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan, berperan sebagai rumah tangga yang bertujuan untuk memaksimumkan utilitas dan sebagai entitas bisnis ynag bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan.
            Tujuan pengelolaan hutan produksi harus mencapai hasil akhir efisiensi , keadilan, keberlanjutan, dan pemeliharaan keanekaragaman sumberdaya hayati. Bagaimana pun format kelembagaan yang diusulkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan alam oleh masyarakat, kelembagaan itu henddaknya berunsur pokok: batas yuridiksi, aturan main, dan aturan perwakilan, format kelembagaan harus bersifat dinamik, yang berarti adaptif terhadap perubahan. Perumusan bentuk kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan alam produksi akan lebih afektif bila dilakukan oleh lembaga pemerintah yang ada di daerah.
Ikhtisar II :

Pada tahun 1969 dilakukan penelitian sistem bagi hasil atas bantuan Peneliti Jerman dalam Proyek Pertanian Makmur di Klaten, Jawa Tengah. Studi pembandingnya dilakukan di Desa Sukoharjo di dekatnya. Padahal sebenarnya Undang-Undang Agraria Tahun 1990 mengharuskan mengolah sendri tanah pertanian. Sensus pertanian tahun 1963 memperlihatkan bahwa pengolah tanah oleh orang lain berjumlah 17%, sedangkan khusus untuk daerah Jawa Tengah berjumlah 24%. Perbedaan data untuk jumlah sistem garap dan sistem bagi hasil disebabkan oleh statistik pertanian di Indonesia yang jauh dari memadai.
            Buruh dengan upah hasil bumi, buruh tani garapan dan buruh bagi hasil berperan penting dalam pertanian di Indonesia dan di daerah-daerah lainnya di Asia Tenggara. Hingga saat ini belum ada kejelasan informasi mengenai perubahan kualitatif bagi hasil, bentuk khusus kerja upahan dan garapan telah meningkat dengan pesat dibandingkan pada awal abad ini. Sistem garapan yang terus meningkat merupakan tanda semakin meningkatnya jumlah penduduk tani yang menganggur. Kurangnya modal dan tawaran berlebihan akan sarana produksi berupa tenaga kerja, menyebabkan timbulnya sistem bagi hasil dan hubungan kerja dasar bagian yang sedikit bagi penggarap dalam mengolah lahannya.
            Salah satu ciri khas usaha pertanian adalah skala usaha yang kecil. Usaha ini dibebani oleh besarnya bagian penyediaan sendiri sarana produksi yang diperlukan untuk mengelola lahan. Hal ini diperparah dengan penghancuran beberapa usaha perkebunan Belanda pada masa kependudukan Jepang (1942-1945) yang mengakibatkan banyak terjadi pemberontakan selama beberapa tahun setelah perang. . Padahal sistem ibagi hasil ni berakar dari masa penjajahan yang bermula pada hukum pemilikan tanah feodal kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. Sistem ini mensyahkan hak pemilikan kaum bangsawan terhadap apa saja yang ada di dalam daerah kekuasaannya.
            Si penggarap terutama berasal dari kelompok sosial pedesaan bawah, yaitu (Pe)tani setengah kenceng, (Pe)tani ngindung, (Pe)tani templek, dan (Pe)tani tlosor.  Kebanyakan dari mereka hanya memiliki peralatan sederhana, sedangkan kepemilikan hewan pembajak seperti kerbau hanyalah identitas pemimpin desa yang merupakan kelas atas desa sebenarnya di pedesaan Jawa Tengah. Kelompok sosial desa (pe)tani kenceng dan (pe)tani gundul memiliki tanah pribadi yang lebih luas dari tanah desa.        Adapun bentuk-bentuk dasar bagi hasil yang banyak digunakan, yaitu sistem maro, sistem mertelu, dan sistem mrapat. Yang banyak dipakai adalah sistem maro (garap separuh, agi separuh). Sebagai ukuran dasar perbandingan bagi hasil adalah kualitas tanah, letak tanah, dan sebagainya. Juga bagian penyediaan sarana produksi seperti bibit, pupuk, ternak pembajak, dan sebagainya merupakan kriteria selanjutnya. Banyak kasus dimana penggarap dibebankan semua kerja dan ongkos produksi tersebut. Apalagi diperburuk dengan adanya sromo, pembayaran tambahan uang oleh penggarap kepada pemilik tanah sebelum memulai penggarapan. Tidak ditemukan bentuk penambahan imbalan sromo lainnya dari penggarap kepada pemilik tanah, seperti memberikan tenaga (J.Kohler). Termasuk pula di dalamnya kebanyakan ongkos untuk upacara tanam dan panen. Hal yang sama juga terjadi pada daerah tetangga di Sukoharjo.
            Penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil ini harus dilakukan, karena berdampak pada landasan eksistensi juga mempertahankan kemiskinan.  Pelaksanaan perubahan Undang-Undang Agraria tahun 1960 dapat menjadi langkah awal yang mengantarkan ke proses perubahan sosial yang lebih baik.